Jembatan Beatrix atau yang kerap di sebut masyarakat sebagai Beatrix Brug, sudah tak lagi asing bagi masyarakat Provinsi Jambi, terutama di Kabupaten Sarolangun.
Jembatan yang menyimpan cerita penderitaan rakyat Jambi saat penjajahan Belanda ini, terus dibenahi untuk mempertahankan cerita sejarah sekaligus mempercantik daerah.
jembatan beatrix di siang hari |
Membentang di atas Sub-DAS Batanghari, Sungai Batang Tembesi Sarolangun, pembangunan jembatan Beatrix memiliki sejarah kelam. Jembatan tersebut, dibangun atas ribuan rakyat Jambi yang dipaksa bekerja paksa atau rodi.
Meski kekinian tak lagi menjadi jalur utama, jembatan yang memiliki panjang kurang lebih 100 meter dengan lebar lima meter, menjadi satu penghubung alternatif Kampung Sri Pelayang dan Pasar Bawah Sarolangun.
Dari penuturan warga sekitar, jembatan ini dibangun hampir belasan tahun lamanya yang dimulai sejak 1923 hingga diresmikan pada tahun 1939.
Penamaan Beatrix sendiri, menurut cerita turun temurun, kemungkinan disadur dari nama Beatrix Wilhelmina Armgard, yang menjadi Ratu Belanda.
Bukti sejarah jembatan ini, hanya tersaji pada prasasti pahatan batu granit sepanjang 40 cm dengan lebar 30 cm di pangkal jembatan bagian selatan bila ditempuh dari Sri Pelayang.
Meski berumur puluhan tahun, Jembatan Beatrix tampak masih berdiri kokoh. Hiasan lampu dan pewarnaan setiap ruas lengkungan semakin menambah keindahan jembatan Beatrix di malam hari.
Cerita lain dituturkan Ega, warga Sarolangun. Sekitar enam tahunan silam, di pinggiran Sungai Batang Tembesi di bawah jembatan Beatrix saat senja dipenuhi warga mandi dan berenang laiknya kolam renang.
“Dulu airnya jernih dan tenang. Kalau sore hari ramai orang pada mandi. Sambil bawa ban bekas untuk berenang. Cuma semenjak ada orang hanyut, jadi gak berani lagi mandi,” terangnya, Minggu (13/4/2014).
Sejarawan Jambi Junaidi T Noor memaparkan, Beatrix Brug merupakan benda cagar budaya peninggalan masa Kolonial Belanda, yang sangat lekat dan tak bisa dipisahkan dari rakyat Indonesia.
“Penjajah Belanda, ketika hengkang dari Sarolangun, meninggalkan sarana transportasi. Kehadirannya erat dengan kita. Sebab gambaran dimasa lalu, ada di sana. Saat membuat Beatrix Brug, tenaga kerja pribumi, dipaksa melalui kerja rodi,” katanya.
artikel ini saya ambil dari tribunnews. rupanya kelam nian ceritanya.
sementara itu saya baru pulang dari bengkulu, dan melintas di Sarolangun sekitar jam 2-3 pagi.
saya melihat jembatan nan indah itu di hiasi lampu warna warni.
rasanya ingin singgah dan menyempatkan makan mie rebus karena kelaparan. tapi karena faktor X , tidak bisa singgah disitu.
ah, lain kali, aku akan singgah dan ber foto selfie biar kekinian seperti abegeh-abegeh…
beatrix di malam hari |